Minggu, 17 April 2011

Maaf

Sehari-hari kita sering mendengarkan kata “Maaf”. Biasanya kata maaf diikuti dengan pernyataan tentang kondisi atau keadaan yang di luar harapan. Misalnya “Maaf, kenyamanan Anda terganggu. Maaf, kami sudah tutup. Maaf, saya terlambat. Maaf, barang yang Anda pesan sudah habis. Maaf, kami tidak bisa membantu”. Dan masih banyak maaf-maaf yang lain. Terkesan begitu mudah kita mengatakan kata maaf. Ketika kita mengharapkan orang lain menerima kekurangan yang kita miliki, otomatis kata maaf akan meluncur.
Di sisi lain menurut salah satu guru saya, memberi maaf adalah salah satu tindakan yang paling mulia yang dapat dilakukan manusia. Di tingkat pertama pemberian yang dapat diberikan adalah pemberian uang atau harta. Banyak orang dapat mendanakan uang atau hartanya dengan mudah. Namun untuk memberikan waktu dan tenaga itu perkara lain. Itu sebabnya pemberian waktu dan tenaga menduduki peringkat kedua dalam hal berdana. Namun sering walaupun kita bisa memberikan waktu dan tenaga, namun kita sulit sekali memberikan maaf yang setulusnya pada sesama kita. Bukan cerita aneh, kalau kita mendengar sepasang sahabat berubah menjadi musuh bebuyutan karena setelah terjadi “korsleting” kedua belah pihak tidak bisa memberi maaf.
Pernah saya terikat dengan kejadian 1, 2, 3 atau bahkan 10 tahun yang lalu. Kejadian yang membuat saya sakit hati. Kejadian yang membuat saya merasa tidak dihargai. Kejadian yang membuat saya merasa direndahkan. Kejadian yang saya pandang tidak selayaknya dilakukan pada diri saya. Kejadian yang saya anggap telah menorehkan luka dalam yang tak terhapuskan. Kejadian yang apapun alasannya tidak pernah akan saya maafkan. Walau saya tahu, Stephen R.Covey mengajarkan kita bersikap proaktif. Bersikap memilih hal-hal yang bisa kendalikan. Memilih bagaimana mengendalikan diri, dan bukannya memilih memikirkan perilaku orang lain yang membuat sakit hati. Namun, toh ketika peristiwa itu terjadi; kadang saya justru memilih menyimpan luka itu bertahun-tahun.
“Yah sudahlah mas. Wong dia itu ngga bermaksud kurang ajar kok,” komentar teman saya
“Enak aja maaf… maaf… emang dia pikir siapa dia, ngomong sembarangan?” jawab saya dengan mulut manyun.
“Terus… terus… maju’in deh mulutnya biar tambah monyong,” ledek teman saya membuat sewot
Begitulah saya. Walaupun saya begitu mudah mengucapkan maaf. Bahkan kadang saya berperilaku seperti Mpok Minah maknya Sahili di Bajaj Bajuri yang sedikit-sedikit mengucapkan maaf. Namun ketika tiba saatnya memberi maaf yang muncul adalah kata-kata “sulitttt Bo!”
“Sulit pitik kale,” sambar teman saya memlesetkan dari “silit pitik” alias “pantat ayam”
Namun selain penyakit sulit memberi maaf. Ada lagi penyakit yang tak kalah buruk. Kalau dalam hal sepele sering mengucapkan kata maaf. Namun justru ketika tugas yang saya jalankan tidak berjalan dengan sempurna. “When things go wrong” karena kelalaian saya. Jarang sekali saya berani meminta maaf di depan orang banyak. Saya memilih menundukkan kepala dan diam saja. Biar orang berpikir “silent is golden”. Padahal saya tahu, dalam hati saya “silent” kali ini adalah bentuk lain dari “emang gue pikirin”.
Karenanya, saya tersentak ketika kemarin bertemu dengan anak usia 10 tahun. Dia mengomentari temannya yang berbuat salah namun tak mau meminta maaf dengan kata-kata “makanya, kalau mau jadi anak hebat; kalau salah ya minta maaf”. Ceplok!!! Kata-kata anak itu ibarat tamparan di muka saya. Anak kecil aja bisa berpikir demikian, kok saya ndak bisa. Maaf, kesombongan dalam diri ternyata membuat saya pikir mestinya saya bisa lebih hebat dari anak 10 tahun. Padahal… maaf belum tentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Quran Online